Peraturan Pemerintah Jepang tentang Sampah: urusai!
Tempat Pembuangan Sampah: Dijaga dari burung gagak
“Kesucian adalah sebagian dari iman.” Demikian pesan Rosulullah saw yang diajarkan pada kaum Muslimin. Semua teman saya yang pernah belajar di berbagai tempat di mancanegara setuju bahwa Jepang adalah negara yang paling bersih, bukan Belanda, bukan Amerika, bukan Australia. Parameter nomor satunya adalah toilet umum.
Jalan-jalan di perkotaan pun bersih dari sampah, selain tertata rapi dan asri. Saya sempat terheran-heran saat tinggal beberapa bulan pertama di Kobe dan tidak menemui tempat sampah umum kecuali untuk minuman kaleng di sebelah jidouhanbaiki (mesin penjual otomatis). Kalaupun ada yang untuk moeru gomi (sampah yang bisa terurai), mungkin hanya di stasiun kereta api. Bagaimana mereka membuang sampah di sini?
Tabel Pemisahan Sampah
Kira-kira setiap 6 bulan, pemerintah daerah melakukan penyuluhan mengenai sampah. Tiap daerah memiliki aturan yang berbeda-beda, namun secara umum diberlakukan pemisahan sampah menurut jenisnya. Pemisahan itu ditandai dengan kantong plastik yang berwarna khusus untuk masing-masing jenis, dan harus dibeli di supermarket. Jenisnya ada sampah terurai, plastik, botol plastik, botol gelas, kertas dan karton, barang besar, hingga barang berbahaya semuanya diatur secara rinci… malah begitu rinci sampai teman-teman berkomentar urusai! (cerewet/ribet/terlalu ikut campur).
Betapa tidak urusai, kalau saya hendak membuang botol plastik, maka saya harus melepas tutupnya* dan membuangnya ke sampah terurai*, labelnya dicopot dan dibuang ke sampah plastik*, dan terakhir botolnya sendiri ke sampah botol plastik*. Masing-masing HARUS dibungkus dengan plastik resmi dari pemda menurut jenis-jenisnya*, dan dibuang menurut hari yang ditentukan*, atau tidak akan diambil oleh truk pengangkut sampah. Itu baru botol plastik, Anda bisa mengingatnya? Ada berapa langkah yang harus dilakukan? (saya beri anda * untuk memudahkan menghitung) Nah… sekarang saya yakin anda pun setuju mereka itu urusai.
Belum? Baiklah, bagaimana kalau begini; setiap barang yang beratnya 5 kg atau lebih, atau berdimensi besar yang tidak bisa dimasukkan dalam plastik sampah, maka harus dibelikan tiket pengambilan di kombini (mini-market yang buka 24 jam). Membuang microwave biayanya 600 yen (Rp 60.000 lebih pada 2009), semakin besar maka semakin mahal. Setelah diletakkan di tempat sampah, kita menelpon kantor pemerintah kota agar mengambil sampah yang dimaksud.
Di tempat sampah ini saya menemukan rice cooker, DVD player, dan headset.
Meskipun begitu rumit dan mahal, semuanya sadar bahwa ini demi kebaikan bersama. Meski kadang-kadang ada yang melanggar, namun sembunyi-sembunyi, karena itu akan sangat memalukan. Terkadang saya berjalan-jalan menemukan barang elektronik yang berharga. Namun karena banyak yang sudah memilikinya, atau juga karena repot membawanya, tidak ada yang mengambilnya dari tempat sampah.
Tempat Pembuangan Sampah: Dijaga dari burung gagak
“Kesucian adalah sebagian dari iman.” Demikian pesan Rosulullah saw yang diajarkan pada kaum Muslimin. Semua teman saya yang pernah belajar di berbagai tempat di mancanegara setuju bahwa Jepang adalah negara yang paling bersih, bukan Belanda, bukan Amerika, bukan Australia. Parameter nomor satunya adalah toilet umum.
Jalan-jalan di perkotaan pun bersih dari sampah, selain tertata rapi dan asri. Saya sempat terheran-heran saat tinggal beberapa bulan pertama di Kobe dan tidak menemui tempat sampah umum kecuali untuk minuman kaleng di sebelah jidouhanbaiki (mesin penjual otomatis). Kalaupun ada yang untuk moeru gomi (sampah yang bisa terurai), mungkin hanya di stasiun kereta api. Bagaimana mereka membuang sampah di sini?
Tabel Pemisahan Sampah
Kira-kira setiap 6 bulan, pemerintah daerah melakukan penyuluhan mengenai sampah. Tiap daerah memiliki aturan yang berbeda-beda, namun secara umum diberlakukan pemisahan sampah menurut jenisnya. Pemisahan itu ditandai dengan kantong plastik yang berwarna khusus untuk masing-masing jenis, dan harus dibeli di supermarket. Jenisnya ada sampah terurai, plastik, botol plastik, botol gelas, kertas dan karton, barang besar, hingga barang berbahaya semuanya diatur secara rinci… malah begitu rinci sampai teman-teman berkomentar urusai! (cerewet/ribet/terlalu ikut campur).
Betapa tidak urusai, kalau saya hendak membuang botol plastik, maka saya harus melepas tutupnya* dan membuangnya ke sampah terurai*, labelnya dicopot dan dibuang ke sampah plastik*, dan terakhir botolnya sendiri ke sampah botol plastik*. Masing-masing HARUS dibungkus dengan plastik resmi dari pemda menurut jenis-jenisnya*, dan dibuang menurut hari yang ditentukan*, atau tidak akan diambil oleh truk pengangkut sampah. Itu baru botol plastik, Anda bisa mengingatnya? Ada berapa langkah yang harus dilakukan? (saya beri anda * untuk memudahkan menghitung) Nah… sekarang saya yakin anda pun setuju mereka itu urusai.
Belum? Baiklah, bagaimana kalau begini; setiap barang yang beratnya 5 kg atau lebih, atau berdimensi besar yang tidak bisa dimasukkan dalam plastik sampah, maka harus dibelikan tiket pengambilan di kombini (mini-market yang buka 24 jam). Membuang microwave biayanya 600 yen (Rp 60.000 lebih pada 2009), semakin besar maka semakin mahal. Setelah diletakkan di tempat sampah, kita menelpon kantor pemerintah kota agar mengambil sampah yang dimaksud.
Di tempat sampah ini saya menemukan rice cooker, DVD player, dan headset.
Meskipun begitu rumit dan mahal, semuanya sadar bahwa ini demi kebaikan bersama. Meski kadang-kadang ada yang melanggar, namun sembunyi-sembunyi, karena itu akan sangat memalukan. Terkadang saya berjalan-jalan menemukan barang elektronik yang berharga. Namun karena banyak yang sudah memilikinya, atau juga karena repot membawanya, tidak ada yang mengambilnya dari tempat sampah.
Nah, dari sini sebenarnya kita bisa belajar bahwa kedisiplinan juga bisa ditumbuhkan melalui sistem.
Hikmah
Di Indonesia kesadaran akan kebersihan diakui sangat minim, disamping fasilitas kebersihan yang juga kurang memadai. Namun menumbuhkan kesadaran bukan satu-satunya cara, himbauan dan aturan harus bisa melengkapi, terakhir —dan ini yang paling kuat— adalah penegakkan hukum. Tanpa ada sikap tegas dari pemerintah maka tumbuhnya budaya bersih akan memakan waktu lama.
0 komentar:
Posting Komentar